Tradisi retorik dalam dunia patriarkal menunjukkan bahwa retorika di depan publik pada mulanya hanyalah dilakukan oleh laki-laki. Aristoteles, seorang folosof sebelum abad Masehi misalnya, sangat menekankan perlunya studi retorika bagi laki-laki. Studi retorika, menurut Aristoteles pada dasarnya adalah cara mengemukakan pendapat di depan umum secara persuasif. Oleh sebab itu retorik juga dikaitkan dengan debat karena dalam beretorik orang harus mampu meyakinkan orang lain akan kebenaran yang diyakininya. Orang tersebut juga harus bisa menunjukkan keunggulan dirinya dan gagasan-gagasannya dibandingkan orang lain. Karena sifatnya yang persuasif dan agresif retorik dinilai lebih tepat dikerjakan oleh orang laki-laki dan memang hanya diajarkan pada orang laki saja. Maklum pada zamannya, perempuan hampir tidak memiliki akses ke dunia luar selain lingkungan rumahnya sendiri. Perempuan dinilai tidak lebih dari keberadaannya secara biologis sebagai yang melahirkan anak dan merawat anak-anak serta rumahtangganya. Plutarch, walaupun menganjurkan agar pada perempuan diajarkan matematika, filsafat dan astronomi, anjurannya tidak lebih dari sekedar mengajarkan unsur moralitas, bukan bertujuan mengajarkan perempuan untuk bisa bernalar dan menggunakan kemampuannya berdebat atau berargumentasi di luar rumah.
Beberapa penulis perempuan juga berpendapat bahwa tradisi retorika dalam sejarah umat manusia memang bukan merupakan tradisi kaum perempuan. Patricia Parker misalnya mengatakan bahwa sejarah menunjukkan bahwa retorika adalah satu-satunya ketrampilan yang tidak pernah diajarkan pada perempuan. Parker juga mengutip tulisan Leonardo Bruni dalam De Studies et Litteris yang merupakan buku teks humaniora yang mengatakan bahwa kalaupun studi humaniora itu sebaiknya diajarkan pada laki-laki maupun perempuan, ia menambahkan suatu larangan bagi anak-anak perempuan untuk belajar retorik yang menurutnya retorik ada diluar wilayah kehidupan perempuan.
Hannah Arendt dalam tulisannya The Human Condition, bahkan mengatakan bahwa beberapa kegiatan manusia memiliki kedudukannya yang dianggap layak oleh masyarakat umum. Ia kemudian menunjukkan bahwa perempuan dan budak-budak tidak selayaknya dipertontonkan di muka umum karena hidup mereka sepenuhnya harus diabdikan untuk kegiatan yang sifatnya biologis. Fungsi biologis perempuan inilah yang selama ini sering menjadi acuan bagi kegiatan-kegiatan lain sehingga perempuan secara 'naluri' dibentuk dan dilestarikan sesuai dengan fungsinya ini.
Kendatipun dalam berbagai disiplin ilmu banyak kelompok patriarki telah menumbuhkan persepsi bahwa perempuan paling tepat melakukan kegiatannya sesuai dengan fungsi biologisnya, disiplin ilmu retorik termasuk yang paling efektif diterapkan dalam memperkuat persepsi masyarakat tentang perempuan. Akibatnya tradisi retorika telah menjadi suatu sarana ampuh bagi kelompok yang dominan, dalam hal ini biasanya kaum laki-laki, untuk menumbuhkan persepsi bahwa perempuan hanya mampu menunaikan tugas biologisnya saja.
Persepsi yang demikian tentang perempuan telah menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa perempuan tidak akan mampu bergiat secara efektif dalam kancah publik / umum. Dengan begitu pula perempuan menjadi semakin sulit bergerak dalam kegiatan politik yang banyak memerlukan kemampuan beretorik yang sifatnya persuasif dan agresif, misalnya dalam berdebat dan dalam mengemukakan pendapat di depan umum. Hal ini diperkuat pula dengan adanya pengamatan bahwa laki-laki biasa dibesarkan dalam lingkungan yang kompetitif seperti dalam bermain dan berolahraga. Sebaliknya perempuan terbiasa berinteraksi dalam kelompok kecil yang menekankan kerja sama daripada berkompetisi.
Dorothy Cantor and Toni Bernay yang menulis buku Women in Power mewawancarai sejumlah perempuan yang berhasil dalam karir politiknya di Amerika Serikat. Mereka menyebutkan misalnya bagaimana seorang kandidat wakil Presiden perempuan Geraldine Ferraro yang juga harus berdebat di muka umum dengan kandidat dari partai lain, waktu itu George Bush. Geraldine mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada kandidat perempuan lebih menekankan pada segi kemampuannya sebagai seorang perempuan untuk menangani masalah politik. Ketika ia mengatakan bahwa ia lebih memilih persetujuan damai daripada perang, ia dicap penakut dan tidak pantas untuk bisa jadi Presiden. Pertanyaan lebih sering memojokkan dirinya dan menyiratkan keraguan publik atas kemampuannya memimpin daripada mempertanyakan gagasan-gagasan yang dilontarkan. Ia juga mendapat penilaian ganda dibanding kandidat laki-laki. Kandidat perempuan yang mengumbar perasaan dicap lemah, sedang kandidat laki yang menunjukkan perilaku yang sama dipuji karena dianggap mampu memahami perasaan orang lain. Masyarakat Amerika nampaknya lebih cocok apabila perempuan dipandang sebagai sosok yang berpengaruh atas laki-laki sejauh laki-laki, bukan perempuan, yang berada di depan dalam mencapai tujuan politik. Mereka mencontohkan foto pengukuhan Presiden yang seringkali ditunjukkan bagaimana sang istri memandang suaminya yang menang dengan bangga, sedang si suami memandang ke depan dengan tegar. Namun demikian kesan bangga dan tegar ini bisa berubah ketika sang calon adalah perempuan dan suaminya memandang ke arahnya. Umum menilai foto ini sebagai sosok perempuan perkasa yang mendominasi suaminya.
Amerika memang bukan Indonesia. Namun debat calon Presiden yang akhir-akhir ini dibicarakan umum mau tidak mau harus diakui sebagai mencontoh apa yang dilakukan di negara Barat seperti di Amerika Serikat. Pro dan kontra adanya debat calon Presiden sudah banyak dilontarkan terutama dalam kaitan penolakkan calon Presiden PDI Perjuangan, Megawati Sukarnoputri, untuk ikut serta dalam debat ini. Bagi mereka yang mengharapkan hadirnya Megawati dalam debat ini menyatakan penyesalannya karena mereka berharap Megawati dapat menepis keragu-raguan publik atas kemampuannya menjadi pemimpin. Megawati diharapkan mampu mensejajarkan dirinya dengan kebanyakan calon laki-laki dalam beretorika yang persuasif dan agresif. Kemampuan berdebat telah menjadi standar penilaian masyarakat yang muncul pada mulanya dalam budaya yang bersifat patriarkal ini.
Beberapa feminis berpendapat bahwa diterimanya tradisi retorik yang demikian akan sama halnya dengan diterimanya budaya yang patriarkal. Namun demikian perkembangan zaman nampaknya menunjukkan diperlukannya suatu konsep baru dalam beretorika yang bisa diterima baik oleh laki-laki maupun perempuan. Penolakan beretorika dengan alasan ketidaksesuaian budaya hanya akan membuat kita mandeg dalam memikirkan suatu solusi yang workable, yang bisa diterima oleh kedua pihak. Masyarakat secara umum dan para pakar komunikasi perlu mencari jalan untuk merekonstruksi persepsi tradisi retorik di mana baik laki-laki maupun perempuan mampu secara efektif memprosesnya.
Esther Kuntjara
Dosen Fak. Sastra UK Petra
Sedang melanjutkan studi S3 dibidang Rhetoric & Linguistics dari Indiana University of Pennsylvania, USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar