Pengertian
Ritual malam 1 syura yang dilakukan oleh masyarakat Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kab.Temanggung, yang bertujuan untuk kelestarian alam dan lingkungan dengan menguras sendang yang berukuran 9x25 meter dan kedalaman 2 meter kemudian malamnya mengkirab Lurah dan istrinya dari kediamannya menuju Sendang Sidukun untuk mengadakan ritual, lalu dilanjutkan ke Balai Desa dan disanalah diadakan pagelaran Wayang Kulit semalaman suntuk selama 7 malam.
Sejarah
Tradisi itu bermula dari kisah dalang wayang kulit bernama Garu dari Dusun Garon, Desa Traji pada masa lampau. Dia didatangi orang berpakaian bangsawan yang mengaku berasal dari Traji dan memintanya untuk mementaskan wayang kulit pada malam 1 Suro.
Setelah mementaskan wayang, ternyata orang berpakaian bangsawan yang tidak diketahui namanya itu membayar sang dalang tidak dibayar dengan uang tetapi dengan kunir satu nampan. Meskipun sempat terkejut, Garu menerima pemberian kunir itu. Saat hendak pulang, Garu dipesan oleh orang itu untuk tidak menoleh sebelum tujuh langkah dari tempat itu. Tetapi Garu tidak mengindahkan pesan itu dengan hanya mengambil tiga buah kunir dan menoleh sebelum tujuh langkah.
Saat menoleh ternyata orang itu sudah hilang, tempat itu berupa sendang atau kolam, dan tiga kunir berubah menjadi tiga batangan emas, Garu sadar yang minta wayang bukan sembarang orang, lalu dia pergi ke sesepuh Desa Traji dan meminta setiap Suro untuk pentas wayang di tempat itu, sampai sekarang tradisi itu terus berlangsung.
Ritual Sendang Sidukun
Sebelum acara Sendang Sidukun, satu hari sebelumnya masyarakat menguras sendang yang berukuran 9X25 meter dengan kedalaman 2 meter, kegiatan itu dilakukan secara gotong-royong oleh warga Traji. Warga juga mengecat ulang pendapa dengan warna hijau tua dan kuning gading. Di pendapa itulah terdapat prasasti bertuliskan huruf Jawa "Angayuhsih kadarmaning Gusti kanthi manunggaling cipto " yang ada sejak dahulu. Di situ pula terdapat sumur sumber air bertuah yang mengairi sendang dan sawah penduduk setempat. Menurut juru kunci setempat, Mbah Suari (63), nantinya sesaji malam sura akan diletakkan di pendapa tersebut. Sesaji berupa kepala kambing, bunga wangi, pisang raja dan buah-buahan lain, minuman kopi yang harus menggunakan wadah panci tertutup, wedang santen dan kemudian ketan bakar yang semuanya itu disebut dengan “Angsung Bulu Bekti”. Di bawah pendapa Sendang Sidukun terdapat lubang sumur yang merupakan sumber air. Sumber air inilah yang selama ini mengairi sendang dan sawah penduduk. Konon, di situlah dulu tongkat Sunan Kalijaga ditancapkan untuk mendapatkan air wudhu.
Ritual dipimpin Kepala Desa Traji dengan didampingi istrinya seperti pengantin yang mengenakan pakaian adat Jawa kebesaran kerajaan, sedangkan puluhan warga lainnya terutama para lelaki baik perangkat desa maupun warga Traji mengenakan pakaian adat Jawa gaya Yogyakarta dalam prosesi tersebut.
Prosesi dimulai sekitar pukul 18.00 (Setelah Magrib) hingga 19.00 WIB (Sebelum Isya). Mereka berjalan kaki dari balai desa menuju mata air di pinggir Jalan Raya Parakan-Ngadirejo, Kabupaten Temanggung yang berjarak sekitar 500 meter sambil mengusung dengan tandu sesaji Angsung Bulu Bekti dan Gunungan antara lain berupa kacang panjang, sawi, cabai, bawang merah, bawang putih, terong dan singkong.
Di kolam dekat mata air itu ribuan orang berkumpul mengikuti pembacaan doa oleh Kades. Beberapa saat kemudian sejumlah sesaji dilemparkan ke dalam kolam diikuti puluhan orang yang menceburkan diri di dalam kolam itu untuk berebut sesaji. Ratusan orang lainnya berebut aneka sesaji dan hasil bumi di dalam gunungan di dekat mata air. Mereka juga antre mendapatkan pembagian air dari mata air tersebut yang dilakukan juru kunci Sendang Sidukun.
Setelah ritual selesai, Kepala Desa beserta istrinya kembali ke Balai Desa, mereka duduk berdampingan di aula dan mendapatkan penghormatan berupa sungkeman dari seluruh perangkat desa dan warga setempat. Pada kesempatan itu mereka membagikan uang logam kepada setiap orang yang sungkem sebagai simbol berkah atas ritual tersebut. Acara kemudian dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit yang dilakukan selama tujuh malam.
Setelah ritual selesai, Kepala Desa beserta istrinya kembali ke Balai Desa, mereka duduk berdampingan di aula dan mendapatkan penghormatan berupa sungkeman dari seluruh perangkat desa dan warga setempat. Pada kesempatan itu mereka membagikan uang logam kepada setiap orang yang sungkem sebagai simbol berkah atas ritual tersebut. Acara kemudian dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit yang dilakukan selama tujuh malam.
Sendang Sidukun Saat ini
Sampai sekarang sumber air tersebut memengaruhi besar kecilnya debit air di empat sungai yang melintasi desa Traji, yakni Bong, Kalijogo, Puring dan Kalipanas. Mata air itu menjadi sumber penghidupan bagi para petani setempat. Jumlah penduduk setempat sekitar 3.600 jiwa atau 995 kepala keluarga. Sumber air Sendang Sidukun sampai kini diyakini mempunyai tuah untuk menyembuhkan penyakit, menyuburkan sawah, melariskan dagangan dan menjaga jabatan atau pangkat seseorang. Hal ini, dibuktikan dengan banyaknya orang dari luar kabupaten yang datang di malam 1 Suro meminta air untuk dibawa pulang.
Di luar hal-hal tersebut, ritual malam 1 Sura ternyata mampu menghidupkan ekonomi warga Traji. Karena sejak sepekan lalu, di Jalan Raya Traji, Parakan , banyak pedagang setempat dan dari luar daerah yang menggelar dagangan layaknya pasar malam. Ratusan pedagang berjajar di tepi kiri dan kanan jalan menggelar aneka dagangan seperti makanan, minuman, pakaian, permainan anak, dan cendera mata lainnya. Ritual ini mempunyai maksud-maksud yang lebih ilmiah, yaitu menumbuhkan kerukunan di antara warga desa Traji yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. “Nawu sendang”, dimaksudkan sebagai usaha untuk memelihara sumber mata air agar tidak liar menjadi bajir atau malah mati menjadi kering dan harapannya kedepan tidak terjadi bencana.
Ritual Sendang Sidukun telah berlangsung sekitar 200 tahun, setiap malam 1 Suro. Setiap orang yang menjabat kepala desa setempat, katanya, harus memimpin ritual malam 1 Suro dengan mengenakan pakaian raja dan ratu Jawa. Masyarakat hingga saat ini memercayai akan mendapatkan rezeki melimpah, dagangan laris, tanaman pertanian subur, dan mereka yang menjadi pegawai dapat bekerja secara baik setelah mengikuti ritual tersebut. Dulu pernah ada rencana untuk menghapus tradisi ini, tetapi baru rencana saja masyarakat sudah menghadapi banyak kesulitan hidup seperti gagal panen, sumber air menjadi kecil, banyak orang sakit, sehingga tradisi budaya ini terus dilestarikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar