Bahasa merupakan alat penghubung antar individu untuk berkomunikasi sehari-hari. Bahasa juga mempunyai arti penting sebagai alat penghubung untuk perumusan maksud yang melahirkan perasaan dan memungkinkan adanya kerjasama antarindividu. Bahasa juga alat untuk menyatakan ekspresi diri. Bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Kedua, bahasa merupakan alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial
Bahasa merupakan salah satu unsure kebudayaan yang memungkinkan manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman tersebut, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Bahasa juga dapat mengadakan kontrol social, bahasa merupakan alat yang dipergunakan dalam usaha mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang lain. Bahasa juga mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat.juga.
Bahasa merupakan salah satu unsure kebudayaan yang memungkinkan manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman tersebut, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Bahasa juga dapat mengadakan kontrol social, bahasa merupakan alat yang dipergunakan dalam usaha mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang lain. Bahasa juga mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat.juga.
Bahasa melekat pada kehidupan sehari-hari, namun tanpa disadari bahasa mengandung suatu ketidak seimbangan gender. Ketimpangan gender dalam bahasa Indonesia terungkap dalam wujud: nama penanda status keluarga atau perkawinan, penyebutan keberadaan atau tindakan, keniscayaan struktur, dan inisiatif pengucapan. Contoh dari hal tersebut adalah pemakaian imbuhan ‘wan’ pada suatu profesi lebih yang lebih tersosialisasi dari pada imbuhan ‘wati’. Perbedaan itu sederhananya ditekankan pada nada dan intonasi. Selanjutnya, perempuan kerap jadi subordinasi kaum laki dalam bahasa yang diwujudkan pada berbagai unsur kosa kata, ugkapan, istilah, dan tataran gramatikalnya. Hal ini sudah menggejala hampir ke semua ranah. Misalnya saja dalam bidang pekerjaan asusila, pada perempuan melekat istilah PSK, pelacur, lonte, murahan, tante girang, dan sejenisnya. Sedangkan bagi lelaki yang suka melakoni ‘pekerjaan’ yang sama, hanya mendapat istilah “hidungbelang” dan “matakeranjang”. Ini menunjukkan bahwa subordinasi bahasa terhadap perempuan lebih banyak daripada untuk kaum laki.
Bahasa dapat mempengaruhi perilaku siapa yang memakainya. Keterbtasan bahasa dan istilah yang memiliki ketimpangan gender ini mengakibatkan wanita menjadi “manusia kelas dua” di dunia. Banyak sekali istilah ejekan, kejengkelan yang diungkapkan dengan nama bagian-bagian tubuh wanita bukan dengan pria, hal itu sudah menjadi pelecehan tersendiri. Perilaku dapat membentuk sebuah budaya, bahasa sarkasme yang dihaluskan seperti “wanita murahan” membuat posisi wanita tidak leluasa dan mempunyai ruang gerak sempit. Misalnya saja orang tua yang mengatakan supaya anak perempuannya hati-hati dengan cara mengingatkan pada si anak bahwa dia perempuan. Hanya mengatakan kalau dia perempuan saja sudah mengartikan kalau perempuan itu harus dijaga dan hati-hati karena tidak kuat, perempuan dibatasi ruang geraknya, tidak bebas mengakses kegiatan sehari-hari. Padahal laki-laki juga manusia dan mempunyai kemungkinan untuk celaka juga namun laki-laki dianggap kuat jadi jarang seorang laki-laki yang diingatkan untuk hati-hati karena dia lelaki.
Hal itu terjadi karena gaya dan gerak tubuh wanita sendiri yang lebih pelan, bahkan dalam cara berbicara yang membuat perempuan seperti ingin dimanja. Hal tersebut menjadikan perempuan tersubordinasi, sebagai baham ejekan bahkan dianggap remeh. Perempuan dibatasi ruang geraknya karena setiap wanita yang mempunyai ruang gerak yang bebas akan dinilai negative. Namun jika orang awam mau menyadari, wanita yang mempunyai semangat juang dan ruang gerak yang lebih akan mempunyai nilai yang lebih yang mungkin bias lebih dari laki-laki. Perempuan bias melindungi dirinya sendiri dan tidak harus merasa harus dilindungi oleh laki-laki jika budaya subordinasi perempuan tidak ada.
Tidak seharusnya keterbatasan bahasa ini menjadikan perempuan tidak menikmati hidupnya, maka untuk menyelamatkan masalah ini yang seharusnya orang-orang lakukan adalah kembali menjunjung tinggi kebudayaan ketimuran. Budaya yang menghormati antar sesame, termasuk pada wanita. Sikap yang santun dan menghargai setiap orang termasuk wanita, karena baik wanita ataupun pria adalah sama saat diciptakan oleh Sang PenciptaNya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar